Pada tahun 2007, maestro seni lukis Indonesia Affandi genap berusia 100
tahun. Ia lahir di Cirebon, Jawa Barat, pada 1907, tanpa seorangpun, tak
terkecuali Affandi, yang mengetahui dengan pasti tanggal dan bulan
kelahirannya.
Seratus tahun: Tak banyak orang yang memperoleh kesempatan
“mendekati”-nya. Tidak juga Affandi, yang harus menyambut kedatangan
maut pada usia 83 tahun. Seperti kita ketahui, ia telah berkalang tanah
pada 23 Mei 1990. Ini artinya, sudah 17 tahun lamanya ia berbaring dalam
pusara yang berada di sebuah sudut museum pribadinya di tepi kali Gajah
Wong, Yogyakarta.
Sejak saat itu, kuburan tersebut menjadi “keterangan tempat”, mungkin
alamat, yang sunyi dan sepi, bagi setiap orang yang hendak
menziarahinya. Maka apa arti 100 tahun untuk seorang pelukis yang telah
pindah hidup kea lam baka?
Di negeri yang tak lepas dirundung bencana ini, mungkin kita tak perlu
lagi berkabung untuk seorang pelukis yang namanya selalu hidup dalam
sanubari anak-anak sekolah dari Sabang sampai Merauke itu. Mungkin saya
berlebihan dalam perkara itu. Tapi sangat mungkin bahwa Affandi masih
“hidup”, terutama jika hidup, untuk memakai kata-kata Chairil Anwar
dalam sajak “Derai-Derai Cemara” (1949), bukan berarti menunda kekalahan
sebelum pada akhirnya kita menyerah. Lagi pula, sebagian dari kita
mempercayai bahwa Affandi tak pernah kalah dan menyerah. Ribuan
lukisannya yang kini tersimpan di museum pribadinya dan atau dikoleksi
oleh sejumlah pecinta seni atau kolektor di dalam negeri dan mancanegara
adalah jejak langkah hidup Affandi di muka bumi ini.
Potret Diri dan Matahari
Sepanjang hayatnya sebagai pelukis, Affandi melukis hamper semua pokok
soal (subject matter) perupaan kehidupan manusia, binatang, dan alam,
yang tertangkap matanya. Tapi, pokok soal yang paling memikat
perhatiannya, dan karena itu berulang-ulang muncul dalam lukisanya,
adalah matahari dan potret dirinya.
Dalam sebuah wawancara panjang dengan Cris Wee, pemusik dan pelancong
seni berdarah Cina-Singapura, pada 1982, Affandi menjelaskan
pertimbangannya dalam melukis banyak matahari. Katanya “Saya suka
matahari. Ini adalah simbol kehidupan saya. Seperti keyakinan. Harus
bisa membakar dan panas seperti dalam lukisan.”
Sementara itu, kepada setiap orang, khususnya orang asing yang bertanya
perihal kebiasaanya melukis potret diri, penerima Hadiah Perdamaian
Internasional Dagh Hammarshjoeld (1979) itu menjawab dalam bahasa
Inggris: “Because I understand my self.” Salah satu lukisan potret diri
Affandi yang termasyhur adalah Tiga Ekspresi Affandi (1979) yang
memperlihatkan dengan jujur perasaan penyandang gelar doctor
honoriscausa yang diberikan oleh Universitas Singapura pada 1974 itu
dalam tiga warna berbeda: Kuning (gembira), hijau (sedih), dan merah
(marah).
Denan begitu, tak berlebihan untuk dikatakan bahwa lukisan potret diri
Affandi merupakan semacam biogragfi visual yang memungkinkan sang
pelukis mengungkapkan pemahamannya tentang diri sendiri. Dari sini, para
penatap beroleh apa yang disebut curator seni rupa Jim Supangkat dengan
“nada kunci” bagi seluruh irama ekspresi sang maestro. Itu sebabnya,
menurut Supangkat, lukisan potret diri Affandi tidak hanya mereflesikan
perkembangan dirinya, tapi juga mencerminkan seluruh perkembangan seni
lukis. Maka jadi bisa dimengerti jika penerima Bintang Maha Jasa Utama
dari pemerintah Republik Indonesia pada 1978 itu tak kunjung sudah
melukis potret dirinya, dari debutnyandi tahun 1930-an sampai maut
menjeputnya pada 23 Mei 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar